Lanjut ke konten

Cerpen: Tentang Bintang

by pada 21 Maret 2015
TENTANG BINTANG

tumblr.com

Oleh Ajeng Lintang Dewanti*

Aku tersenyum, tak sengaja melihat sosok itu lagi. Sudah lama aku tak menemukannya, sengaja mencari namun semakin berlari, tak disangka, kini ia dihadapanku, Pecinta Bintang.

Senang rasanya bertemu dia lagi, senang sekali, seperti ingin kusapa dan bertanya apa kabarnya. Namun, apa lah daya bahkan kamu saja tak menatapku duhai Pecinta Bintang. Sesaat semua yang telah kusimpan rapi ini terbuka tiba-tiba tanpa permisi, tanpa peduli lagi seberapa sekarat si penderita.

Jujur aku senang, sangat senang, sampai-sampai mereka semua bertanya apakah aku menyukaimu. Jelas, aku sangat menyukaimu wahai sang Pecinta Bintang, jawabku dalam hati. Semakin kukatakan aku tak menyukaimu atau aku biasa saja, maka semakin jatuh cinta aku akan senyumanmu itu. Maafkan aku yang telah diam-diam mendambakan senyumanmu, duhai pemilik senyum manis. Aku teramat suka.

Bukannya aku tak berani ataupun tak ingin mengungkapkan isi hati ini, tapi kurasa mataku tak pernah mampu berbohong. Jangankan berkata didepanmu, bahkan bertatapan saja aku tak sanggup, sekalipun tak sengaja. Kau duduk disampingku saja aku langsung bisu mematung, bahkan aku sempat mendapatimu menatapku sesekali, ingin rasanya kubalas tatapan indah itu hingga mungkin kita saling menatap. Namun, aku tak mampu.

Lagi-lagi dengan hanya mengetahui kamu sehat dan senyuman itu masih ada, sudah lebih dari cukup untukku. Lagipula, aku tak ingin kamu merasa tidak nyaman berada di dekatku. Biarlah semua kusimpan hingga tak seorangpun tahu.

Kau tahu? aku juga mengagumi langit, sungguh. Bahkan “Bintang” adalah nama kecilku, mungkin itulah mengapa aku sangat menyukai benda indah itu. Seandainya saja kamu tahu, mungkin kita bisa saling bercerita tentang langit, bertukar gambar indah sang bintang, atau mungkin membicarakan pengagumnya, andai.

Katamu, kau suka bintang karena ia setia dengan langit walaupun berkali-kali dibuat jatuh. Tapi menurutku kamu harus belajar dari hujan, karena ia setia dengan bumi walau jelas ia tahu bagaimana rasanya berkali-kali terjatuh.
Katamu juga hujan itu teduh dan meneduhkan. Namun bagiku, hujan lebih dari hanya sekedar meneduhkan. Bagiku, hujan adalah pembangkit rindu yang paling syahdu. Hujan dapat menggoda mereka yang penuh kenangan tanpa perlu waktu lama.
Tapi bukan hanya bintang dan hujan yang jatuh, tapi juga diriku. Aku jatuh cinta dengan kata-kata indahmu, duhai Penggapai Bintang.

Jika kamu adalah si Pengagum Bintang, maka ijinkan aku menjadi si Pecinta Semesta. Ijinkan aku untuk–walau tak langsung mencintaimu–merengkuhmu dalam genggamanku. Ijinkan aku juga untuk sama-sama menjaga bintang-bintang itu bersamamu agar malamku dan malammu–yang kuharap menjadi malam kita–sama-sama terang dihiasi lembut sinarnya.

Juga tak pernah lupa kuberucap agar bintang itu selalu ada, agar kamu selalu dapat melihat sinar mataku yang kini tak lagi sendu karena aku tahu kau benci mata yang katamu kamu takut terjatuh didalamnya.

Kau tahu apa yang juga indah selain memandangi bintang di malam hari? Menikmati keelokan jingga sang senja tak kalah romantis.
Katamu, senja adalah sebuah pembuktian bahwa ada hal yang begitu indah di balik kisah tidak dipertemukannya siang dan malam. Kataku, mereka, siang dan malam, bukannya tak bertemu, mereka berbaur.
Duhai sang Pecinta Bintang, aku tahu kau tak pernah benar-benar mengamati senja. Maka, kini izinkan aku membawamu. Siang dan malam bertemu dan saling menjaga, itulah mengapa dinamakan senja. Senja memang sekali, namun bukankah sekali itu cukup bila kita menikmatinya? Ya, kita pasti kehilangan senja. Namun, mendapatkan indahnya langit malam.

Si Pecinta Semesta tak pernah percaya bahwa bintang akan dan sering terjatuh. Namun, bila kamu, Pecinta Bintang, percaya bahwa bintang itu jatuh maka ijinkan aku menangkap bintang itu. Karena bagiku, kamu adalah bintangnya. Bagiku, si Pecinta Semesta, kamu adalah bintang jatuh. Tak akan pernah kugenggam, tapi selalu kuharapkan. Karena aku tak pernah percaya bahwa bintang akan jatuh dengan sendirinya. Maka teruslah menggapainya, duhai Pecinta Bintang. Teruslah berharap, dan gapai satu bintangmu yang paling terang di antara jutaan bintang di hamparan gemerlapnya langit penuh harapan.

Biar lah semua seperti ini. Biar lah semua mengalir seperti ini. Keadaan ini tercipta bukan karena aku tak ingin memulai, hanya tak ingin merusak yang sudah ada. Lagipula, tak semua cinta harus diungkapkan, kan?

Senyuman itu, suara itu, mata itu. Izinkan aku menyimpan semua yang telah kupotret ini ke dalam album terindahku sendiri yang suatu saat nanti akan kubuka atau terbuka dengan sendirinya.

Aku tetap menunggu dan akan selalu menunggu.
Meski terkadang menunggu tak se-incipun menyeret kita ke titik rindu yang mungkin bersilangan dengan temu. Namun, lagi-lagi adakah yang lebih syahdu dari dua jiwa yang saling menunggu? Yang tak saling sapa, namun diam-diam mengucap nama dalam doa?
Lagipula, mengapa meminta kepada bintang-bintang, bila kita bisa meminta kepada penciptanya? Sebab, katamu ada spasi yang terisi di antara doa dan kenyataan yang tidak terbaca, yaitu rencana Tuhan yang lebih indah.

Aku percaya Tuhan tidak akan memisahkan sesuatu yang baik kecuali digantikan dengan yang lebih baik. Karena aku akan bersabar dalam diamku, karena tulang rusuk tak akan pernah tertukar. Senja itu benar, kehilangan adalah cara Tuhan mempertemukan kita dengan kebaikan.
Sebab, tak ada yang lebih baik dari dua orang yang bertemu karena saling menemukan dan sama-sama berhenti karena telah selesai mencari. Hingga tak akan ada yang pernah pergi karena tahu sulitnya mencari. Maka, semoga sibukmu dan sibukku adalah sibuk yang baik, yang mendekatkan rezeki baik, yang mampu membuat Tuhan percaya kita berjuang di jalan yang baik.

Duhai Pecinta Bintang, izinkan kumengucap namamu dalam doaku. Karena doa adalah cara dan usahaku untuk mendekatkanmu tanpa harus menjauh dari Tuhanku. Wahai sang pemilik bintang dan seisi semesta, izinkan bintang itu untuk selalu menerangi gelapnya malamku, serta izinkan aku juga mengulang doa-doaku. Karena mengulang doa-doa itu seperti kayuhan sepeda. Suatu saat akan membawaku ke arah yang kutuju. Semoga dan selalu.

(cerita ini telah dimuat di eldyta28.blogspot.com)

 *Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

Jurusan Teknik Informatika dan Komputer

From → Cerpen

One Comment
  1. saya suka tulisan model di atas ini karena saya tak pernah bisa menulis yang semacam ini. Indah dan berhanyut-hanyut tetapi menyiksa batin sendiri sehingga cocok dengan pepatah cinta itu memang membuat luka. salam kenal dari saya oldman bintangrina

Tinggalkan komentar