Lanjut ke konten

Berkaca dari Finlandia

by pada 5 September 2013
(mustprast.wordpress.com)

(mustprast.wordpress.com)

Oleh Trankgono TryAtmojo

Pendidikan menjadi pilar terpenting dalam membangun sebuah bangsa. Tanpa adanya pendidikan untuk generasi selanjutnya, bisa dipastikan bangsa tersebut akan mengalami kemunduran. Bahkan, sirna dari peradaban.

Syawal Gultom, Kepala Badan Pengembangan SDM dan Penjamin Mutu Pendidikan,  mengatakan rasio jumlah guru dengan jumlah peserta didik di Indonesia merupakan yang ‘termewah’ di dunia. “Rasio di Indonesia sekitar 1:18. Angka tersebut lebih baik, jika dibandingkan dengan negara maju seperti Korea (1:30), atau Jerman (1:20).”

Namun dunia pendidikan kita masih memiliki masalah, perhatian pemerintah masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau.

Dampak pendidikan yang buruk menyebabkan negeri kita makin terpuruk di masa depan. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan, baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Mungkin kita harus berkaca dengan sistem pengajaran di Finladia, yang dianggap tersukses dalam menghasilkan generasi yang baik. Angka kelulusan 93%, 2 dari 3 siswa meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi setelah SMA, dan nilai pencapaian Program for International Student Assessment (PISA) mereka tertinggi dibanding negara-negara lain, sekitar 560 di tahun 2006.

Jadi apa yang membuat mereka sukses?

Kunci sukses mereka adalah jumlah guru yang sangat banyak, 1 guru untuk 12 murid. Menjadi seorang guru di Finlandia, minimal lulusan S1. Setiap tahunnya lebih dari 20.000 orang calon guru mendaftar untuk masuk ke delapan universitas dan hanya 5.000 orang yang diterima untuk setiap bidangnya.

Finlandia sangat menyadari peran guru sangat penting, hanya 10% dari lulusan terbaik yang bisa menjadi guru. Pekerjaan sebagai guru, sama bergengsinya dengan pekerjaan sebagai dokter atau pilot.

Selain itu, tidak ada pemisahan kelas antara murid yang berkebutuhan khusus, akselerasi dan biasa. Tidak ada pekerjaan rumah (PR) sampai memasuki remaja, jadi anak mendapatkan waktu lebih banyak untuk bermain dan menjadi anak-anak dengan semestinya.

Ujian standarisasi atau bisa disebut UN hanya diselenggarakan sekali, ketika umur siswa mencapai 16 tahun. Berbeda dengan Ujian Nasional, yang diselenggarakan untuk murid Indonesia pada kelas 6, 9, dan 12.

Masih belum terlambat bagi kita, untuk membenahi pendidikan generasi penerus bangsa. Bukan jumlah paket soal dan nilai minimum yang kita butuhkan untuk membangun masa depan, tetapi kita butuh guru yang berkualitas dalam jumlah banyak. Untuk itu, sangat perlu mensejahterakan guru mulai dari sekarang.

Catatan Redaksi: Tulisan ini dimuat di Berita21.com (http://lipsus.berita21.com/2013/berita-anda/berkaca-dari-finlandia.html)

From → Feature

Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar