Lanjut ke konten

Kampung Kecil Sejuta Kenangan

by pada 2 Oktober 2014
(myworld2902.blogspot.com)

(myworld2902.blogspot.com)

Oleh Ayyuhatsanail Fithri*

Di antara makam-makam yang tertata cukup baik, berdirilah empat rumah yang kesemuanya berasal dari satu keluarga. Di balik rumah-rumah tersebut, terhampar lahan pertanian yang sangat luas. Lahan pun disemai padi, yang memang dijadikan tanaman utama di sana. 

Saat pagi menyambut dan kubuka mata, udara sejuk segera menghampiri tubuh. Di balik jendela terlihat pemandangan indah, mahakarya Sang Pencipta tersaji di hadapanku. Inilah Desa Cipeuyeum, kampung halamanku yang terletak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Tidak ada yang istimewa. Namun selayaknya kampung halaman lainnya, desa ini memberikan cerita tersendiri bagi aku dan keluarga. Di sinilah aku dilahirkan, tepatnya suatu malam pada dua puluh tahun lalu saat listrik mati. Sampai usia genap 5 bulan, aku dibawa Ibu bekerja di Jakarta.

Sejak saat itulah, aku hanya kembali ke kampung halaman tiap setahun sekali. Hal terindah dari kampung ini adalah sawahnya, yang sungguh luar biasa. Aku tak pernah menghitung seberapa luasnya, tetapi saat melewati gapura Cipeuyeum akan tersaji persawahan di kiri dan kanan kalian.

Areal persawahan inilah yang menjadi tempat bermainku, sejak tiap kali mengunjungi kampung halaman. Kegiatan yang seringkali kulakukan adalah menangkap ikan, memetik kacang kedelai, kacang panjang, dan makan siang bersama para petani di tengah sawah yang ditemani kerbau-kerbau pembajak.

Jika musim hujan, tanah di sawah ini menjadi becek. Tak perlu ditanya lagi, hari itu aku dan teman lainnya akan pulang berlumuran tanah dengan pakaian yang kotor tentu saja. Ah, walaupun begitu, aku tetap saja senang.

Cerita lain yang dihadirkan adalah spiritualitas mereka yang sangat terjaga. Pengalaman mengaji, pertama kali aku dapatkan di sini. Begitu banyak rumah yang dijadikan tempat pengajian, dengan sejumlah ustadz dan ustadzah muda menjadi pengajarnya.

Dengan penuh kesabaran, mereka mengajarkan huruf demi huruf dalam bahasa Arab yang tidak kupahami saat itu. Sebagai anak yang datang dari Jakarta dan tidak pernah mengikuti kegiatan keagamaan seperti mengaji, aku menjadi satu-satunya anak yang sangat aneh di antara lainnya.

Tak puas hanya berkeliling di sekitar kampung Cipeuyeum, kami juga menyusuri Pasar Ciranjang sampai kota Cianjur. Sejumlah tempat wisata pun dikunjungi, salah satunya Water World the John’s.

Untuk mencapainya, harus melewati jalanan curam dan berliku. Ditempuh dengan sepeda motor, rasanya sangat menegangkan. Bila berpapasan dengan kendaraan lain, otomatis kami harus jalan di tepian jurang sedalam hampir 20 meter. Sungguh menyeramkan!

Semua itu terbayar saat tiba di tujuan. Wahana air yang berwarna-warni dan keindahannya, menghapus segala ketakutan dan lelah yang dirasakan selama perjalanan. Saat menceburkan diri ke kolam renang, tubuh menjadi segar dan tenang.

Bentuk Water World ini kurang lebih mirip dengan Snow Bay di TMII, walau tidak dipungkiri memang  tak sebagus di Jakarta. Namun bagi kami, tempat ini cukup menghibur dan mampu menghilangkan penat.

Biaya masuk Wahana pun tidak terlalu mahal, hanya dengan membayar Rp 30.000,- per orang kita sudah bisa menikmati seluruh sarana yang disediakan. Bermain outbond di bawah kolam renang, tampaknya bukan ide buruk sebagai agenda kunjungan selanjutnya.

Manusia, lingkungan dan kuliner. Tak lengkap rasanya tak menautkan tema yang satu itu, kuliner. Berhubung bukan penjelajah kuliner yang baik, jadi tak banyak makanan yang kuketahui. Secara pribadi saat pulang ke kampung, makanan yang paling kucari adalah baso tahu, sejenis siomay. Tetapi yang kutunggu khusus buatan paman sendiri, karena dia juga penjual baso tahu. Rasanya gurih, kenyal, dan bumbunya pun sesuai dengan lidahku.

Karena Cipeuyeum masih bagian Indonesia, maka makanan pokoknya tetaplah nasi. Eits, namun nasi yang satu ini sedikit berbeda walau sering terdengar: nasi liwet. Dicampur ikan asin, membuat nasi lebih enak dari biasanya. Wanginya pun bertambah, karena dimasukkan daun sereh. di dalamnya.

Lalu dimakan dengan lauk bebek, sambal serta lalapan. Hm, lezatnya. Walau sederhana, namun nikmatnya tak ubahnya makanan restoran. Kenikmatan bagiku bukanlah soal sajian atau harga yang mahal, melainkan suasana yang membahagiakan sangat mempengaruhinya.

Kini 23 tahun sudah usia, sehingga tidak terhitung kunjunganku ke kampung kecil ini. Setiap singgah, selalu hadir cerita berbeda. Yang tentu saja, membawa kenangan tersendiri bagiku.

*) Ayyuhatsanail Fithri  adalah mahasiswa Universitas Guna Darma, Depok
Catatan: Tulisan ini merupakan kiriman peserta Lomba Penulisan Feature dalam rangka Ulang Tahun Pertama Situs “Xpression Journalism” Tahun 2014, dan telah melalui proses penyuntingan –red
Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar